Monday, May 17, 2010

Perbedaan Mazhab Sistem Qiraat Al-quran dan Implikasinya dalam Pendidikan Islam :


uin-suka.info PDF Print E-mail

Abstract,Maragustam. In a row of development of the science and technology, the globalization of information, then there are variant of opinion, especially in the qiraat of the Al-Qur’an flow the wave. When the variant of Qiraat merely on the art and academic discours, so not abuse to the important problem. But in the fact those variant influence to the variant of law in the dayly relegius activity. The consquence of the situation is make a distance in the relationship between the follower of a school and another. Whereas, in the principle, Islam was opened extensifly to the variant, even those variant of opinion are blessing of God to the human being, to make a mutuall cooperation between them, to make mutuall substitution and understanding. Therefore this note try to appear the variant of the qiraat and the consequences in the variant of the ways in the relegius activity, and then to view why this situation implies to the Islamic education.

I. Pendahuan    Proses kodifikasi al-Qur’an pada masa khalifah Usman berjalan dengan penuh kehati-hatian. Saat itu di kalangan muslimin terjadi saling menyalahkan antara aliran qira>’at yang satu dengan sistem qira>’at lainnya, bahkan di antara mereka hampir saling  mengkafirkan. Daerah kekuasaan Islam pada khalifah Usman telah meluas, orang-orang Islam telah terpencar di berbagai daerah. Penduduk Syam membaca al-Qur’an mengikuti qiraat Ubay bin Ka’ab, penduduk Kufah mengikuti qira>’at Abdullah bin Mas’ud, dan sebagian yang lain mengikuti qiraat Abu Musa al-Asy’ari. Diantara mereka  terdapat perbedaan bunyi huruf dan bacaan.
    Masing-masing mereka saling membanggakan sistem qiraatnya, mereka  saling mengklaim, bahwa versi qiraat masing-masing yang paling baik dan benar. Hal ini menimbulkan perpecahan diantara umat Islam. Situasi demikian sangat mencemaskan khalifah Usman. Ia segera mengundang para sahabat termuka, untuk mengatasinya. Akhirnya dicapai kesepahaman agar mushaf yang ditulis pada masa khalifah Abu Bakar al-Shiddiq  disalin kembali menjadi beberapa mushaf. Hasil penyalinan ini dikirim ke berbagai  daerah, untuk dijadikan rujukan bagi kaum muslimin, terutama sewaktu terjadi perselisihan sistem qira>’at. Sementara itu, Khalifah Usman memerintahkan untuk membakar mushaf yang berbeda dengan mushaf hasil kodifikasi pada masanya yang dikenal dengan mushaf Imam/Usman.
    Berkenaan dengan keadaan di atas, maka pada pertengahan kedua di abad I H. dan pertengahan awal di abad II H., para  ahli qira>’at terdorong untuk meneliti dan menyeleksi berbagai sistem qira>’at al-Qur’an yang berkembang saat itu. Hasilnya, tujuh sistem qira>’at al-Qur’an yang berhasil dipopulerkan dan dilestarikan oleh mereka, dinilai sebagai tergolong mutawatir yang bersumber dari Nabi saw. Inilah yang dikenal dengan sebutan qira>’at sab’at (qira>’at tujuh).
    Dalam tulisan ini permasalahan yang diangkat ialah bagaimana implikasi keanekaragaman sistem qira>’at al-Qur’an terhadap pendidikan Islam? Pendidikan dimaksud bukan dalam pengertian sempit yaitu berupa  aktivitas yang disengaja dan terprogram tetapi dalam pengertian luas yaitu sesuatu yang dapat berupa pesan, materi, aktivitas atau lainnya yang mengarah kepada pembentukan kepribadian dan sikap manusia. Signifikansi akademik dari tulisan ini terlihat pada akibat positif yang ditimbulkan dari perbedaan sistem qira>’at yang melahirkan pendidikan bagi umat Islam.

II. Sketsa Sistem Qira>’at Al-Qur’an

    Qira>’at menurut istilah berarti ilmu mengenai cara membaca huruf-huruf atau lafaz-lafaz al-Qur’an serta perbedaan cara membacanya menurut versi orang yang menaqalkannya. Qira>’at ini bersambung sanadnya sampai kepada Rasulullah.  Dengan demikian qira>’at hanya membicarakan perbedaan bacaan  pada sebagian   lafaz-lafaz atau huruf-huruf al-Quran, bukan seluruh lafaz al-Qur’an; cara membaca yang dianut oleh suatu mazhab qira>’at haruslah didasarkan atas riwayat dari Nabi saw.; dan qira>’at tersebut adakalanya hanya memiliki satu versi qira>’at dan adakalanya memiliki beberapa versi qira>’at.
    Khalifah Usman ketika mengirim mushaf-mushaf ke seluruh penjuru kota, disertai dengan ahli qira>’at yang  qiraatnya sesuai dengan masing-masing mushaf yang diturunkan. Setelah para sahabat berpencar ke seluruh daerah dengan qira>’at yang berbeda itu, para tabi’in mengambil dari sahabat tersebut. Dengan demikian bermacam-macamlah sumber pengambilan para tabi’in, sehingga masalah ini bisa menciptakan para imam qira>’at yang masyhur yang berkecimpung didalamnya, dan mencurahkan segalanya untuk qira>’at dengan memberi tanda-tanda serta menyebarluaskannya.
    Menurut al-Zarqani bahwa pedoman dalam penukilan al-Qur’an itu berdasarkan para hufadz (para penghafal al-Quran). Karenanya Usman r.a. mengirimkan setiap mushaf disertai dengan orang yang banyak persamaan di bidang bacaannya. Masing-masing dari mereka membacakannya di setiap daerah menurut qira>’at yang ada pada mereka, yang mereka terima dari baginda Rasulullah s.a.w.  Dari mereka  itulah terdapat satu kelompok yang siang malam bekerja keras untuk mengutip qiraat al-Quran. Dan penduduk negeri mereka, telah bersepakat untuk menerima qiraatnya dan tidak pernah terjadi adanya dua orang yang berbeda pendapat tentang kebenaran riwayat dan dirayahnya.
     Selanjutnya al-Zarqani mengatakan, bahwa setelah adanya tokoh-tokoh tersebut banyaklah ahli qiraat yang terkenal di seluruh penjuru serta dikembangkan oleh generasi ke generasi yang berlainan tingkatannya dan berbeda-beda sifatnya. Diantara mereka ada yang sangat baik dalam qira>’at, masyhur dari segi  riwayat dan dirayahnya dan sebagian yang lain hanya mempunyai satu segi bacaan dan lainnya ada pula yang lebih dari itu. Oleh karena itulah timbullah banyak qira>’at yang berbeda-beda. Pada masa itu timbullah tokoh-tokoh dan pemimpin umat untuk bekerja keras untuk bisa membedakan antara qira>’at yang shaheh  dan yang batil. Mereka kumpulkan huruf-huruf dan qira>’at, menguatkan qira>’at dan riwa>yat serta dira>yah, diterangkan mana yang sheheh, yang syaz, yang berkembang  dan yang punah, dengan pedoman-pedoman yang mereka kembangkan dan syarat-syarat yang diutamakan.    
     Tujuh sistem qira>’at (qira>’at al-sab’ah) merupakan salah satu dari ahruf al-sab’ah. Imam Besar Abu Bakar Ahmad bin Musa al-’Abbas (dikenal dengan nama Ibn Mujahid) secara tidak sengaja melahirkan sesuatu yang baru dengan qira>’at yang tujuh, sebagai koreksi terhadap qira>’at para imam terkemuka. Ibn Mujahidlah yang pada permulaan tahun ke-300 H di Baghdad menghimpun tujuh sistem qira>’at dari tujuh  Imam al-Haramain (Mekkah dan Madinah), Kufah, Basrah dan Syam, yang ahli dibidang ilmu qiraat. Penghimpunan ini sepenuhnya bersifat kebetulan, sebab diluar  itu ada ahli qira>’at yang lebih berbobot dan jumlahnya pun tidak sedikit. Abul ‘Abbas  bin ‘Ammar menyesali dan mengecam Ibn Mujahid. Ia menyatakan, orang yang menetapkan tujuh sistem qira>’at itu telah berbuat tidak semestinya. Secara umum ia menciptakan keruwetan dan menanamkan anggapan pada kaum awam bahwa tujuh sistem qira>’at itulah yang dimaksudkan oleh hadis.
    Istilah qira>’at al-sab’ah tidak dikenal di negari-negeri Islam ketika para ulama mulai menciptakan sistem qiraat. Para ahli qiraat terdahulu, seperti Abu ‘Ubaid al-Qosim bin Salam, Abu Ja’far al-Thabari dan Abu Hatim as-Sajistani, menyebut jumlah qira>’at al-sab’ah jauh lebih banyak dari itu. Istilah qiraat al-saba’ah baru dikenal orang pada permulaan abad II H, yaitu setelah banyak orang di negeri-negeri Islam menerima baik sistem qiraat dari beberapa imam dan tidak mau menerimanya dari imam-imam yang lain. Sebenarnya masih banyak sistem qira>’at lain seperti  Qiraat al-’Asyar (sistem qira>’at sepuluh), qira>’at al-Arba’ al-’Asyarah (empat belas sistem qira>’at).

III. Qira>’at Mu’tabarah (qira>’at yang dapat diterima)
     Menurut Abdul Hadi al-Fadli  bahwa terjadinya perbedaan pendapat mengenai sistem qiraat  dikalangan ulama antara lain karena:
1.    Perbedaan qira>’at Nabi s.a.w. sewaktu menyampaikan dan     mengajarkan al-Qur’an kepada para sahabatnya, beliau membacakannya dalam berbagai versi qira>’at.  Seperti QS. Al-Rahman (55):87 berbunyi:مُتّكِئِيْنَ على رَفْرَفٍ خُضْرٍ وعَبْقَرِىٍّ  حسَانٍ      Lafaz  رفرفpernah dibaca oleh Nabi s.a.w. dengan bacaan ِفَارِفٍر   demikian pula    lafaz عبقرى   pernah dibaca oleh beliau dengan bacaanعَبَاقَرِىٍّ   sehingga bunyi ayat tersebut menjadi: مُتَّكِئينَ عَلى رَفَارَفٍ خُضْرٍ وَعَبَا قَرىّ حِسَانٍِ
2.    Adanya taqrir Nabi s.a.w. terhadap berbagai qira>’at yang berlaku di     kalangan kaum muslimin waktu itu. Hal ini menyangkut perbedaan dialek kebahasaan di antara mereka dalam mengucapkan lafaz-lafaz tertentu. Seperti lafaz حَتَّى حِيْنٍ   dalam QS.Yusuf (12):35 dibaca حَتَّى عِيْنٍ  ,  تَعْلَمُ  dalam QS. Al-Baqarah (2):106 dibaca   تِعْلَمُ    dan lain-lain.
3.    Satu pendapat mengatakan bahwa perbedaan qira>’at itu disebabkan karena berbedanya qiraat yang diturunkan oleh Allah s.w.t. kepada Nabi s.a.w. melalui malaikat Jibril a.s.
4.    Jumhur ulama ahli qira>’at berpendapat, bahwa adanya perbedaan qira>’at al-Qur’an disebabkan karena adanya riwayat dari para sahabat Nabi s.a.w. menyangkut berbagai versi qira>’at yang ada.
5.    Sebagian ulama berpendapat, bahwa adanya perbedaan qira>’at al-Qur’an disebabkan karena adanya perbedaan dialek kebahasaan di kalangan bangsa Arab pada masa turunya al-Quran.
    Secara substansial bahwa semua perbedaan pendapat tersebut sebenarnya bersumber dari Nabi s.a.w. baik karena beliau menyampaikannya dengan qiraat yang berbeda maupun karena taqrir beliau terhadap berbagai versi qiraat sahabat pada waktu itu.
    Menurut Qa>di Jalal al-Din al-Bulqiny bahwa qira>’at itu terbagi ke dalam  mutawatir, ahad dan syaz. Yang mutawa>tir ialah qira>’at tujuh yang masyhu>r;  yang a>h}a>d ialah qira>’at yang tiga yang menjadi pelengkap qira>’at sepuluh, yang kesemuanya dipersamakan dengan qira>’at para shahabat. Adapun qira>’at yang syaz ialah qiraat para tabi’in seperti qira>’at A’smasy, Yahya Ibn Watsab, Ibn Jubair
dan lain-lain.  Isma’il mengelompokkan qira>’at sepuluh kepada qira>’at yang masyhu>r yang juga dapat diterima kualitasnya dan dapat dipakai untuk membaca al-Qur’an serta wajib meyakininya sebagai al-Quran.  Sedangkan qira>’at Ad ialah qira>’at yang sah sanadnya tetapi menyalahi rasam Usmani atau menyalahi kaedah tata bahasa Arab ataupun qira>’at tersebut  tidak terkenal. Dan qira>’at ahad ini tidak boleh dipakai untuk membaca al-Qur’an dan tidak wajib meyakininya sebagai al-Quran. Seperti dikemukakan oleh Hakim yang diriwayatkan dari ‘Asim al-Jahdari dari Abu Bakrah dari Nabi s.a.w. bahwa lafaz      أَنْفُسِكُمْ    dibaca    أَنْفَسِكُمْ pada QS. Taubah (9): 128..                    
Adapun qira>’at syaz menurut Ismail ialah qira>’at yang tidak shahih sanadnya.  Seperti Ibn Samiiqa’ membaca  نُنَجِّيْكَ    dengan  نُنَحِّيْكَ    dan lafaz خَلْفَكَ   dibacaخَلَفَكَ   pada QS. Yunus (10): 92.
    Dari bermacam-macam qira>’at ada beberapa qira>’at yang dapat diterima (qira>’at mu’tabarah) dengan memenuhi tiga syarat yaitu (1) qira>’at itu sesuai dengan tulisan pada salah satu mushaf Usmani, walaupun hanya tersirat, (2) sesuai dengan salah satu kaedah bahasa Arab dan (3) sanadnya saheh.  Menurut Ibn al-Jaziry bahwa apabila tiga syarat tersebut tidak terpenuhi maka qira>’at itu dianggap da’i>f, atau syaz atau batil baik qiraat itu berasal dari qira>’at al-sab’ah, atau dari yang lain. Inilah kesepakatan para imam qira>’at baik dari generasi salaf maupun khalaf.
    Ibnu Mujahid membatasi imam qira>’at yang dapat diterima dan dinilainya seheh adalah berdasarkan imam yang tujuh yaitu: Ibn Amir, Ibn Kasir, Ashim al-Kury, Abu Amr, Hamzah al-Kufy, Imam Nafi’, dan Al-Kisaiy.  Sebenarnya masih banyak versi pendapat mengenai macam-macam qira>’at yang tidak dapat disebutkan disini  seperti yang disebutkan oleh al-Suyuti dalam al-Itqannya.
    Ternyata perbedaan qira>’at tersebut menjadikan hubungan sesama muslim renggang, bahkan saling mengklaim bahwa di pihaknyalah yang paling benar. Imam al-Bukhari meriwayatkan dari Anas Ibn Malik bahwasanya ia berkata: Sesungguhnya Hudzaifah Ibn Al-Yaman datang kepada Usman, ketika itu, penduduk Syam bersama-sama dengan penduduk Irak sedang berperang menaklukkan daerah Armenia dan Adzerbeijan. Tiba-tiba Hudzaifah merasa tercengang melihat perbedaan sistem qira>’at. Hudzaifah berkata kepada Usman: Ya Amirul Mu’minin perhatikanlah umat ini sebelum mereka terlibat dalam perselisihan tentang masalah Kitab sebagaimana perselisihan diantara kaum Yahudi dan Nasrani.

IV. Implikasi Perbedaan qira>’at terhadap Pendidikan Islam
    Seperti dicanangkan oleh suatu komisi UNESCO dalam mempersiapkan pendidikan manusia abad XXI, manusia perlu dilatih untuk bisa berpikir (learning to think), bisa berbuat atau melakukan sesuatu (learning to do), dan bisa menghayati hidupnya menjadi seorang pribadi sebagaimana ia ingin menjadi (learning to be). Tidak kalah penting dari itu semua adalah belajar bagaimana belajar (learning how to learn), baik secara mandiri maupun dalam kerja sama dengan orang lain, karena mereka juga perlu belajar untuk hidup bersama dengan orang lain (learning to live together).  Dalam konteks perbedaan qiraat harus diletakkan pada pembelajaran manusia agar mampu learning to live together. Karena adanya perbedaan qiraat maka sedikit banyak akan membawa kepada implikasi hukum yang berbeda. Dalam hal ini al-Zarkasyi mengemukakan  bahwa dengan perbedaan qiraat muncullah perbedaan dalam hukum. Oleh karena itu para ulama fiqh membangun hukum batalnya wudhu orang yang disentuh (bukan mahram) dan tidak batalnya wudu atas dasar perbedaan qiraat pada “kamu sentuh”[لمستم]  dan “kamu saling menyentuh” [لامستم] QS. An-Nisa’ (4):43. Demikian juga bolehnya hubungan seks yang sedang haid ketika terputus haidnya dan tidak bolehnya hingga ia mandi junub, dibangun atas dasar perbedaan qiraat mereka pada bacaan , “hingga mereka suci” [فى حتى َيطْهُرْنَ]QS. Al-Baqarah (2):222.
    Dalam hal  kemungkinan maksud ayat-ayat al-Qur’an berbeda sesuai dengan pemahaman masing-masing pembaca al-Qur’an. M. Quraish Shihab mengemukakn bahwa setiap nash atau redaksi mengandung dua dalalah (kemungkinan arti). Bagi pengucapnya, nash tersebut hanya mengandung satu arti saja, yakni yang dimaksudkan olehnya. Inilah yang disebut dala>lah haqiqiyyah. Tetapi, bagi para pendengar atau pembaca, dala>lahnya bersifat relatif. Mereka tidak dapat memastikan maksud pembicara. Pemahaman mereka terhadap nash tersebut dipengaruhi oleh banyak hal. Mereka dapat berbeda pendapat. Yang kedua ini dinamai dala>lah nishbiyyah.
    Contoh berikut ini yang harus disadari oleh setiap orang bahwa perbedaan qira>’at akan membawa perbedaan hukum. Implikasi hukum itu tersebut harus ditempatkan pada konteks pendidikan kepada umat Islam. Yakni perbedaan itu adalah memperkaya hukum yang dapat dipilih mana yang lebih mantap dalam hatinya dan tidak harus menjauhkan seseorang dengan orang yang berbeda dengannya.
a. Firman Allah s.w.t. QS. Al-Nisa’(4): 43: Ayat ini menjelaskan bahwa salah satu penyebab seorang bertayammum dan dalam keadaan tidak ada air, bila ia “menyentuh” wanita (لَمَسْتُمُ النِّسَاء ). Menurut Ibn Mujahid, bahwa Ibn Kasir, Nafi’, ‘Ashim, Abu ‘Amr, dan Ibn ‘Amir, membaca لاَمَسْتُمُ النِّسـاَءَ , sedangkan Hamzah dan al-Kisa’i, membacanya dengan: لَمَسْتُمُ  النِّسـاَءَ .   Dalam ‘Irabul Quran dijelaskan bahwa لمستم النساء   ada tiga macam pendapat ulama tentang maknanya yaitu (1) hubungan seksual (جاَمَعْتُمْ), (2) bersentuh ( باَشَرْتُمْ ) dan (3) bersentuh dan hubungan seksual ( يَجْمَعُ الأمْرَيْنَ جَمِيْعـاَ ). Akan tetapi menurut Muhammad Ibn Yazid , bahwa yang lebih tepat makna ( لاَمَسْتُمْ ) ialah berciuman  ( قَبَّلْتُمْ ) dan semisalnya, karena kedua belah pihak (yang berciuman) bersifat aktif, sementara makna ( لَمَسْتُمْ ) adalah menyentuh  karena pihak wanita (yang disentuh) dalam hal ini tidak aktif.
    Menurut mazhab Hanafi dan Maliki, semata-mata bersentuhan antara laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim tidak membatalkan wudu’. Sebab, menurut Hanafi, kata لاَمسْتُمْ disini berarti hubungan seksual dan menurut Maliki berarti bersentuhan yang disertai dengan nafsu birahi. Sedangkan menurut mazhab Syafi’i, bersentuhan semata akan membatalkan wudhu baik yang menyentuh maupun yang disentuh.  Kata لامس dalam ilmu saraf merupakan bentuk kata kerja musyarakah , adanya interaksi antara yang menyentuh dan yang disentuh. Sedangkan qiraat لمـس adalah bentuk kata kerja muta’addi (transitif) yang tidak mengandung unsur musyarakah. Karena itu, qira>’at pertama mendukung pendapat mazhab Hanafi dan Maliki, dan qira>’at kedua mendukung pendapat mazhab Syafi’i.
    Dalam Mafa>tih al-Ghaib disebutkan, menurut Ibn Abbas, al-Hasan, Mujahid, Qatadah, dan Abu Hanifah bahwa yang dimaksud ialah hubungan seksual. Sedangkan Ibn Mas’ud, Ibn Umar, al-Nakha’i, dan Imam Syafi’i berpendapat bahwa yang dimaksud ialah bersentuh kulit baik dalam bentuk persetubuhan maupun dalam bentuk lainnya. Al-Razi menguatkan pendapat terakhir, karena makna hakikinya ialah menyentuh dengan tangan. Satu lafaz haruslah diartikan dengan pengertian hakiki. Sekalipun menurut al-Qasimiy dapat diartikan dengan makna “bersetubuh” tapi hal itu makna majazinya. Suatu lafaz haruslah diartikan dengan makna hakikinya.  Hemat penulis, batalnya wudhu’ dengan sebab beresentuhan kulit antara laki-laki dan wanita yang bukan muhrim, baik bersentuhan itu sekedar kulit ataupun sampai hubungan seksual. Karena inilah  arti hakiki dari kata لَمَسَ (menyentuh) dan kata لامس (bersentuhan).
b. Firman Allah QS. Al-Baqarah (2): 222. Ayat ini memberi informasi larangan bagi suami melakukan hubungan seksual dengan isteri yang sedang haid. Larangan tersebut berakhir dengan, jika isteri telah suci kembali ( حَتَّى يَطْهُرْنَ). Dalam Kitab Al-Saba’at disebutkan bahwa ada dua cara membaca kalimat tersebut yaitu menurut Hamzah, al-Kisa’i, dan ‘Ashim riwayat Syu’bah, membacanya dengan يَطَّهَّرْنَ. Sedangkan Ibn Kasir, Nafi’, Abu ‘Amr, Ibn ‘Amir, dan ‘Ashim riwayat Hafsh, membacanya dengan يَطْهُرْنَ .
    Sebagian ulama menafsirkan qira>’at يَطْهُرْنَ  : janganlah kamu berhubngan seksual dengan isteri sampai mereka suci (الطُّهْرُ). Sedangkan qiraat يَطَّهَّرْنَ menafsirkannya dengan janganlah kamu bersanggama dengan mereka, sampai mereka bersuci (التَطَهَّرُ). Dalam tafsir Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an  disebutkan bahwa pengertian التَطَهُّرُ    ada yang menafsrikan dengan mandi; ada dengan wudhu’; ada dengan mencuci farj (kemaluan) tempat keluarnya darah haid tersebut; dan ada pula yang menafsirkannya dengan, mencuci atau membersihkan farj dan berwudhu’ .
    Sehubungan dengan ini, Imam Malik, Imam Syafi’i, al-Awza’i dan al-Sawri berpendapat, bahwa seorang suami haram hukumnya bersanggama dengan isterinya yang sedang dalam haid, sampai isterinya itu berhenti dari haid dan mandi junub. Imam as-Syafi’i memberi alasan qiraat mutawatirat (qiraat al-saba’ah) . Bila ada dua versi qiraat dan dapat digabungkan, maka kita wajib menggabungkannya. Sehingga menjadi “Tidak boleh suami bersanggama dengan isteri yang sedang haid, sampai isteri nya itu berhenti dari darah haidnya (suci) dan mandi junub. Alasan lain ialah penggalan ayat berikutnya yaitu   فَاِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوْهُنَّbahwa boleh suami hubungan seksual dengan isterinya yang telah menjalani haid, apabila telah bersuci dengan cara mandi. 
Sementra itu Abu Hanifah menafsirkan وَلاَتَقْرَبُوْهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ dengan, janganlah kamu bersanggama dengan mereka sampai mereka suci, yakni, telah berhenti dari haid. Dengan demikian, suami boleh melakukan hubungan seksual dengan isteri mereka, setelah darah haid mereka berhenti.  Sehubungan dengan perbedaan pendapat tersebut, Hasanuddin AF  berpendapat bahwa batas keharaman seorang suami melakukan hubungan seksual dengan isterinya yang haid itu ialah sampai wanita tersebut suci dalam arti, telah berhenti dari haidnya, dan telah mandi dari hadas besarnya. Hal ini mengingat pengertian (التطهّر) dalam rangkaian ayat tersebut yaitu (فَاِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوْهُنَّ).
c. Firman Allah QS. Al-Maidah (5):6. Persoalan dalam ayat ini, apakah dalam berwudhu itu wajib mambasuh kedua kaki (وأرجلكم) atau cukup dengan menyapunya saja. Menurut Al-Khinn, bahwa perbedaan ini timbul dari perbedaan qiraat. Nafi’, Ibn Amir dan Al-Kisai membaca:أَرْجُلَكُمْ dengan nashb (fathah lam). Sedangkan Ibn Kasir, Abu ‘Amir, dan Hamzah membacanya dengan jarr (kasrah lam). Dengan mengambil qiraat nasab, jumhur ulama berpendapat wajibnya membasuh kedua kaki dan tidak memadai dengan menyapunya. Pendapat ini mereka perkuat dengan beberapa hadis. Syi’ah Imamiyah berpegang pada qiraat jarr sehingga mereka mewajibkan menyapu kedua kaki dalam berwudhu. Pendapat yang sama diriwayatkan juga dari Ibn Abbas dan Anas bin Malik.  Senada dengan itu Jahid  mengemukakan bahwa wajib menyapu kedua kaki bagi yang memilih qiraat kasrah lam dan wajib membasuh bagi yang memilih qiraat fathah lam. Qiraat fathah lam menunjukkan bahwa kedua kaki dalam berwudhu wajib dicuci (dibasuh) karena ma’tuf kepada فاَغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ . Sementara qiraat jarr lam menurut lahirnya menunjukkan bahwa kedua kaki dalam berwudhu hanya wajib diusap dengan air, yang dalam hal ini ma’thuf kepada وَامْسَحُوْا بِرُءُوْسِكُمْ
    Dari contoh-contoh diatas dapat digambarkan bagaimana kontribusi perbedaan qira>’at al-Qur’an terhadap pendidikan manusia. Manusia adalah makhluk dengan segala individualitasnya. Artinya masing-masing manusia memiliki karakteristik tersendiri berdasarkan potensi yang dimilikinya, baik lahir maupun batin. Kalau prinsip individualitas dan otoritas pendapat seseorang tidak dipahami, maka yang terjadi adalah kesenjangan dan saling menyalahkan, yang pada akhirnya terjadi disharmoni sosial. Memahami manusia dengan ragam individualistas dan otoritas pendapatnya berarti menyadari manusia sebagai pribadi yang memiliki kemerdekaan dan pengertian.
    Menurut Heidegger bahwa eksistensi manusia adalah eksistensi bersama. Hubungan sosial antar manusia ini mengandaikan hubungan dua subjek yang saling meminta supaya diterima dengan hati yang jujur dan baik. Oleh karenanya hubungan dasar antara dua subjek merupakan hubungan keadilan, kebaikan, dan egaliter. Manusia lain dipandang sebagai pribadi yang harus dipersilakan mengembangkan dirinya sendiri.  Perbedaan sistem qiraat  tidaklah dimaksudkan untuk memecah belah umat Islam, tetapi justru dengan perbedaan qiraat itu akan memperkaya khazanah keilmuan, sekaligus mengajari umat Islam agar menjadi manusia bersosial. Manusia bersosial ialah manusia yang dapat melakukan keseimbangan yang benar, berkomitmen terhadap semua hubungannya dengan manusia lainnya, di rumah atau di masyarakat.  Bahkan menurut hadis yang sheheh bahwa hasil ijtihad seseorang apabila benar mendapat dua kebajikan, sedangkan kalau salah masih diberi satu kebajikan yang sempurna. Sikap membanggakan pendapat dan menyingkirkan yang berbeda pendapat dengannya merupakan sikap jahiliyah yang bertentangan dengan Islam. Tujuan  pendidikan Islam bukan pada semata-mata dilihat dari outputnya, tetapi yang lebih penting dari itu ialah prosesnya.
    Tauhid dan pluralisme menganjurkan manusia untuk bersikap toleran, lapang dada dan terbuka. Islam melarang manusia untuk memutlakkan kebenaran pendapat pribadi, takabbur, dan menganggap dirinya lebih baik dari manusia lainnya. Sikap tersebut cenderung membuat manusia menjadi sosok yang otoriter, eksploitatif feodal dan represif.
    Dengan demikian perbedaan qira>’at membawa implikasi pendidikan Islam sebagai berikut:
1.    Adanya pengakuan ekstensi perbedaan pendapat memungkinkan seseorang menjadi lebih manusiawi (being humanize) sehingga disebut dewasa dan mandiri. Itulah visi  atau tujuan dari proses pembelajaran dengan memahami perbedaan qiraat. Menurut Andrias Harefa bertumbuh menjadi dewasa dan mandiri berarti semakin mampu bertanggungjawab atas diri sendiri, berarti menolak pendiktean/pemaksaan kehendak dari apa pun yang berada di luar diri,  berart semakin mengenal diri, semakin jujur dengan diri sendiri, dan semakin lebih manusiawi.
2.    Menjadikan manusia memahami pluralisme dan lebih toleran. Keragaman pendapat, budaya, bahasa dan sejenisnya bukan untuk menunjukkan bahwa, secara kodrati yang satu lebih baik dari yang lain melainkan agar masing-masing  individu atau kelompok saling mengenal, memahami dan bekerjasama (QS. Al-Hujurat (49):13). Sikap jumud, eksploitatif, otoriter, feodal dan represif sangat bertentangan dengan pendidikan Islam. Maka seorang makmum yang memilih qiraat “مالك” dalam salat, tidak harus memisahkan diri dari imam yang memilih qiraat “ملك” karena kedua qiraat tersebut sama-sama shaheh. Setiap orang harus belajar menjadi pemberani (courageous) dalam arti menerima perbedaan sebagai suatu kenyataan yang wajar dan manusiawi, serta pantas disyukuri dan bukan disesali, apalagi ditiadakan.
3.    Menjadikan hubungan sesama ahli qira>’at dan para pengikutnya lebih kohesif dan bermakna. Karena masing-masing pihak tetap dalam kerangka menjalankan tugas khalifahnya di muka bumi. Menurut ash-Shadr bahwa hubungan sosial kekhalifahan terdiri dari keempat sisi berikut; pihak yang mengangkat khalifah, yaitu Allah; khalifah yakni manusia; hal-hal yang ditempatkan di bawah tanggung jawab sang khalifah yaitu alam dan umat manusia.
    Hubungan antarmanusia adalah hubungan antara dua orang rekan yang menjalankan kewajiban yang sama sebagai khalifah Allah, bukan hubungan antara seorang majikan dengan budak atau pelayannya. Dengan demikian manusia harus merasa bertanggung jawab kepada Tuhan, sebagai pemberi khalifah, penganugerah roh, jiwa dan tubuh, yang membekalinya dengan nurani (moralitas), akal budi (rasionalitas), dan kemauan atau hasrat untuk beraktivitas. Manusia juga harus bertanggung jawab kepada dirinya sendiri, dalam arti mengekspresikan dirinya secara utuh dan penuh, mengaktualisasikan dirinya dan memerdekakan semua potensinya. Ia juga bertanggung jawab untuk menguasai dirinya, mengontrol dan mengendalikan diri (self-mastery). Menurut Andrias Harefa, manusia bertanggung jawab kepada sesama manusia, kepada masyarakat sekitarnya. Ia perlu belajar mengenali dan menghayati nilai-nilai synnoetis, yaitu nilai-nilai mengenai kerasian hubungan antarpribadi (inter-subject relationship), belajar menjadi makhluk yang compassionate (berkepedulian sosial) dan bukan sekadar passionate (memuja hasrat dan kemuan sendiri/kelompok).

V. Kesimpulan
Dari berbagai gambaran diatas dapat disimpulkan sebagai berikut :
1.    Qira>’at al-Qur’an merupakan suatu mazhab tertentu dalam pengucapan al-Qur’an yang dianut oleh seorang imam qira>’at yang berbeda dengan mazhab lainnya berdasarkan riwayat yang sanad-sanadnya bersambung kepada Nabi saw. dan dinilai mutawa>tir. Seperti qira>’at al-sab’ dan qira>’at al-’asyarah. Terjadinya perbedaan qiraat itu dipengaruhi oleh banyak faktor.
2.    Pada tujuan substansialnya bahwa dengan  adanya perbedaan sistem qira>’at  al-Qur’an akan membawa implikasi pendidikan Islam berupa menjadikan seseorang lebih manusiawi sehingga menjadi lebih dewasa dan mandiri; menjadikan manusia lebih menyadari pluralisme dan lebih toleran sesama manusia yang berbeda paham dan pendapat; dan menjadikan hubungan manusia lebih kohesif dan bermakna.

DAFTAR PUSTAKA
A. Atmadi dan Y. Setiyaningsih (Ed.). Transformasi Pendidikan Memasuki Milenium Ketiga,. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2000.
Abdul Wahid, Ramli. Ulum al-Qur’an. Jakarta: Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1994.
Ali Abdul Halim Mahmud, Pendidikan Ruhani.  Terj. Abdul Hayyie al-Kattamo. Jakarta: Gema Insani press,  2000.
Andrias Harefa, Menjadi Manusia Pembelajar, (Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2001.
Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Semarang: Toha Putra,  1989.
Hasanuddin AF, Perbedaan Qiraat dan Pengaruhnya Terhadap Istinbath Hukum Dalam Al-Quran.  Jakarta: Raja Grafindo Pustaka, 1995.
Ibnu Mujahid, Kitab al-Sab’at fi al-Qira>’at, Mesir: Da>r al-Ma’arif,  t.th.
Ismail SM dan Abdul Mukti (Editor), Pendidikan Islam, Demokratisasi dan Masyarakat adani, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000.
Ismail, Sya’ban Muhammad, Al-Qira>’at Ahka>muha wa Masa>diruha. Semarang: DinaUtama,1993.
Al-Qasimi, Muhammad Jamal al-Din, Mahasin at-Ta’wil, Juz ke-3 dan 5/ Mesir: Isa al-Babi al-Halabi, 1957.
Al-Qat}t}a>n, Manna’. Mabahits fi ‘Ulum al-Quran. Riyadh: Huquq al-Thaba’ Mahfudzah, t.th.
Al-Qurtubi, Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad al-Anshori, Juz ke-3 dan 5. ttp. Al-Jami’ lil Ahkam al Quran, t.th.
Al-Razi, Imam Muhammad, Mafatih al-Ghaib.  Juz ke-6 dan 9.  Kairo: Da>r al-Fikr,  t.th.
Al-Sabuni, Muhammad ‘Ali, Al-Tibya>n fi> ‘Ulu>m al-Qur’an. Beirut: Alam al-kutub,  1985.
Al-Salih, Shubhi.  Maba>his fi> ‘Ulu>m al-Qur’an. Beirut: Da>r al-Ilm lil Malayin,  1977.
Shadr, M. Baqir, Sejarah Dalam Perspektif Al-Qur’an Sebuah Analisis, Jakarta: Pustaka Hidayah, 1990.
Shihab, M. Quraish Membumikan Al-Quran. Bandung: Mizan,  1992.
Al-Suyuti, Jalaluddin Abdul Rahman, Al-Itqa>n fi >‘Ulu>m al-Qur’an. Juz I. Mesir: Syirkah Maktabah,  1951.
Syahin, Abdul al-Shbur, Al-Qira>’at al-Qur’aniyah. Kairo: Da>r al-Qolm,  1966.
Zahid, Zuhair Ghaziy, ‘I’rabul al-Qur’an. Beirut: ‘Alam al-Kutub,  1988.
Al-Zarkasyi, Muhammad bin Abdullah, Al-Burha>n fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n. Juz  I, II. Kairo: ‘Isa al-Babi al-Halabi,  1957.
Al-Zarqani, Muhammad Abdul ‘Azim, Mana>hil sl-‘Irfa>n fi> Ulu>m al-Qura’n.  Jilid II, II Beirut: ‘Alam al-Kutub, 1988.

No comments:

Post a Comment

Komen


Sila ambil maklumat :) Dont Forget to Follow..

Subscibe Here