Saturday, November 1, 2008

Ilmu-ilmu Al-Quran

Al Quran adalah mukjizat Islam yang kekal dan mukjizatnya selalu diperkuat oleh kemajuan ilmu pengetahuan. Ia diturunkan Allah kepada Rasulullah saw. untuk mengeluarkan manusia dari suasana gelap menuju terang, serta membimbing mereka ke jalan yang lurus. Rasulullah saw. menyampaikan Al Quran kepada para sahabatnya, orang Arab asli. Sehingga, mereka dapat memahaminya berdasarkan nalurinya. Bila mengalami ketidakjelasan dalam memahami suatu ayat, mereka menanyakannya kepada Rasulullah saw.

Pengertian, Pertumbuhan, dan Perkembangannya

Imam Bukhari, Imam Muslim, dan yang lainnya meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud r.a., katanya, “Ketika ayat yang ertinya, ‘Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur adukkan iman mereka dengan kezaliman’ diturunkan, banyak orang yang merasa resah. Mereka kemudian menanyakannya kepada Rasulullah saw. “Ya Rasulullah saw., siapakah di antara kita yang tidak berbuat kezaliman terhadap dirinya?” Nabi menjawab, “Kezaliman di sini bukan seperti yang kamu fahami. Tidakkah kamu pernah mendengar apa yang telah dikatakan oleh seorang hamba Allah yang saleh, ‘Sesungguhnya kemusyrikan adalah kezaliman yang besar’.” (Luqman: 13). Jadi, yang dimaksud dengan kezaliman di sini adalah kemusyrikan.”

Di samping itu, Rasulullah saw. juga menafsirkan untuk mereka beberapa ayat. Dalam riwayat Muslim dan yang lainnya dari Uqbah bin Amir berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah saw. berkata di atas mimbar yang ertinya, ‘Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan yang kamu sanggupi.’ (Al-Anfal: 60). Ingatlah bahawa kekuatan di sini adalah memanah.”

Para sahabat sangat berminat untuk menerima Al Quran dari Rasulullah saw., menghafal dan memahaminya. Ini merupakan suatu kehormatan bagi mereka. Anas r.a. berkata, “Seseorang di antara kami bila telah membaca surah Al-Baqarah dan Ali Imran, orang itu menjadi besar dalam pandangan kami.” Begitu pula mereka selalu berusaha mengamalkan Al Quran dan memahami hukum-hukumnya.

Diriwayatkan dari Abu Abdurrahman as-Sulami yang mengatakan, “Mereka yang membacakan Al Quran kepada kami, seperti Utsman bin Affan dan Abdullah bin Mas’ud serta yang lain menceritakan bahawa bila mereka belajar dari Nabi sepuluh ayat, mereka tidak melanjutkannya sebelum mengamalkan ilmu dan amal yang ada di dalamnya. Mereka berkata, ‘Kami mempelajari Al Quran berikut ilmu dan amalnya sekaligus’.”

Rasulullah saw. tidak mengizinkan mereka menuliskan sesuatu dari dirinya, selain Al Quran, kerana beliau khawatir akan tercampur dengan yang lain.

Muslim meriwayatkan dari Abu Said al-Khudri, Rasulullah saw. bersabda, “Janganlah kamu menulis dari aku. Barang siapa menulis dari aku selain Al Quran, hendaklah dihapus. Dan ceritakan apa yang dariku, dan itu tiada halangan baginya. Dan barang siapa yang sengaja berdusta atas namaku, ia menempati tempatnya di api neraka.”

Sekalipun setelah itu Rasulullah saw. mengizinkan kepada sebahagian sahabat untuk menulis hadis, tetapi hal yang berhubungan dengan Al Quran tetap didasarkan pada riwayat yang melalui petunjuk di zaman Rasulullah saw. di masa kekhalifahan Abu Bakar dan Umar ra.

Kemudian datang masa kekhalifahan Utsman bin Affan r.a. dan keadaan menghendaki (seperti yang akan kami jelaskan nanti) untuk menyatukan kaum muslimin pada satu mushaf. Dan hal itu pun terlaksana. Mushaf itu disebut “Mushaf Imam”. Salinan-salinan mushaf itu juga dikirimkan ke beberapa provinsi. Penulisan mushaf tersebut disebut Ar-Rasmu al-Utsmani, iaitu dinisbahkan kepada Utsman. Dan ini dianggap sebagai permulaan dari ilmu rasmi quran.

Kemudian datang masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib r.a. Dan atas perintahnya, Abul Aswad ad-Du’ali meletakkan kaedah-kaedah nahu, cara pengucapan yang tepat dan baku, serta memberikan ketentuan-ketentuan harakat pada Al Quran. Ini juga dianggap sebagai permulaan i’raabil quran.

Para sahabat senantiasa melanjutkan usaha mereka dalam menyampaikan makna-makna Al Quran dan penafsiran ayat-ayatnya yang berbeza-beza di antara mereka, sesuai dengan kemampuannya yang berbeza-beza dalam memahami, dan kerana adanya perbezaan lama tidaknya mereka hidup bersama Rasulullah saw. Hal yang demikian diteruskan oleh murid-murid mereka, iaitu para tabi’in.

Di antara para mufassir(ahli tafsir) yang termasyhur dari kalangan sahabat adalah empat orang khalifah, kemudian Ibnu Mas’ud, Ibn Abbas, Ubai bin Ka’ab, Abdurrahman bin Auf , Zaid bin Tsabit, Abu Musa al-Asyari dan Abdullah bin Zubair.

Banyak riwayat mengenai tafsir yang diambil dari Abdullah bin Abbas dan Ubai bin Ka’ab. Dan, apa yang diriwayatkan dari mereka tidak bererti sudah merupakan tafsir Al Quran yang sempurna, tetapi terbatas hanya pada makna beberapa ayat dengan penafsiran tentang apa yang masih samar dan penjelasan apa yang masih global. Mengenai para tabi’in, di antara mereka ada satu kelompok terkenal yang mengambil ilmu ini dari para sahabat, di samping mereka sendiri bersungguh-sungguh atau melakukan ijtihad dalam menafsirkan ayat.

Di antara murid-murid Ibnu Abbas di Mekah yang terkenal ialah Sa’id bin Jubair, Mujahid, Ikrimah, bekas hamba sahaya (maula) Ibnu Abbas, Thawus bin Kisan al-Yamani dan Atha’ bin Abi Rabah. Sementara, di antara murid-murid Ubay bin Ka’ab yang terkenal di Madinah adalah Zaid bin Aslam, Abul Aliyah dan Muhammad bin Ka’ab al-Qurazi. Di antara murid-murid Abdullah bin Mas’ud di Iraq yang terkenal adalah al-Qamah bin Qais, Masruq, Al-Aswad bin Yazid, Amir Asy-Sya’bi, Hasan al-Basri, dan Qatadah bin Di’amah as-Sadusi.

Ibnu Taimiyah berkata, “Adapun mengenai ilmu tafsir, orang yang paling tahu adalah penduduk Mekah, kerana mereka sahabat Ibnu Abbas, seperti Mujahid, Atha’ bin Abi Rabah, Ikrimah, maula Ibnu Abbas lainnya, seperti Thawus, Abusy-Sya’sa, Said bin Jubair, dan lain-lainnya. Begitu pula penduduk Kufah dari sahabat Ibnu Mas’ud, dan mereka itu mempunyai kelebihan dalam ilmu tafsir di antaranya adalah Zubair bin Aslam, Malik dan anaknya Abdurrahman serta Abdullah bin Wahb, mereka berguru kepadanya. Dan yang diriwayatkan dari mereka itu semua meliputi ilmu tafsir, ilmu gharibil quran, ilmu makki wal madani dan ilmu nasikh dan mansukh. Tetapi, semua ini didasarkan pada riwayat dengan cara didik tekan.

Pada abad ke-2 Hijriah tiba masa pembukuan (tadwin) yang dimulai dengan pembukuan hadis dengan segala babnya yang bermacam-macam, dan itu juga menyangkut hal yang berhubungan dengan tafsir. Maka, sebahagian ulama membukukan tafsir Quran yang diriwayatkan dari Rasulullah saw. dari para sahabat atau dari para tabi’in. Di antara mereka itu, yang terkenal adalah Yazid bin Harun as-Sulami (wafat 117 H), Syu’bah bin Hajjaj (wafat 160 H), Waki’ bin Jarrah (wafat 197H), Sufyan bin Uyainah (wafat 198), dan Abdurrazaq bin Hammam (wafat 112). Mereka semua adalah para ahli hadis; tafsir yang mereka susun merupakan salah satu bahagiannya. Namun, tafsir mereka yang tertulis tidak ada yang sampai ke tangan kita. Kemudian, langkah mereka itu diikuti oleh segolongan ulama. Mereka menyusun tafsir Al Quran yang lebih sempurna berdasarkan susunan ayat. Dan yang paling terkenal di antara mereka adalah Ibn Jarir at-Thabari (wafat 310 H).

Demikianlah, tafsir pada mulanya dinukil (dipindahkan) melalui penerimaan dari riwayat (dari mulut ke mulut), kemudian dibukukan sebagai salah satu bahagian hadis, selanjutnya ditulis secara bebas dan mandiri. Maka, berlangsunglah proses kelahiran tafsir bil ma’tsur (tafsir berdasarkan riwayat), lalu diikuti oleh at-tafsir bir ra’yi (tafsir berdasarkan penalaran).

Di samping ilmu tafsir, lahir pula karangan yang berdiri sendiri mengenai pokok-pokok pembahasan tertentu yang berhubungan dengan Al Quran, dan hal ini sangat diperlukan oleh seorang mufassir (ahli tafsir).

Ali bin al-Madini (wafat 234 H) yang merupakan guru Bukhari menyusun karangan tentang asbaabun-nuzuul. Abul Ubaid al-Qasim bin Salam (wafat 224) menulis Naasikh wal-Mansuukh dan Qira-at.

Ibnu Qutaibah (wafat 276 H) menyusun tentang permasalahan quran (Musykilaatul Qur’an). Mereka semua termasuk ulama abad ke-3 Hijriah.

Muhammad bin Khalaf bin Marzaban (wafat 309 H) menyusun Al-Haawi wa-Uluumil Quraan.

Abu Muhammad bin Qasim al-Anbari (wafat 751 H) juga menulis tentang ilmu-ilmu Al Quran.

Abu Bakar as-Sijistani (wafat 330 H) menyusun Ghariibul Qur’an.

Muhammad bin Ali al-Adfawi (wafat 388 H) menyusun Al-Istighna’ fii ‘Uluumil Qur’an.

Mereka ini adalah ulama-ulama abad ke-4 Hijriah.

Dan, sesudah itu kegiatan karang-mengarang dalam ilmu Al Quran terus berlangsung.

Abu Bakar al-Baqalani (wafat 403 H) menyusun I’jaazul Qur’an, dan Ali Ibrahim bin Said al-Hufi (wafat 430 H) menulis I’rabul Qur’an. Al-Mawardi (wafat 450 H) mengenai tamsil-tamsil dalam Quran (Amtsaalul Qur’an). Al-Izz bin Abdussalam (wafat 660 H) tentang majaz dalam Al Quran. Alamudin as-Sakhawi (wafat 643 H) menulis mengenai ilmu qiraat (cara membaca Al Quran), dan Aqsaamul quraan. Setiap penulis dalam karangannya itu menulis bidang dan pembahasan tertentu yang berhubungan dengan ilmu-ilmu Quran.

Syekh Muhammad Abdul Aziz az-Zarqani menyebutkan dalam kitabnya, Manaahilul ‘Irfaan fii Uluumil Qura’an, bahawa ia telah menemukan dalam perpustakaan Mesir sebuah kitab yang ditulis oleh Ali bin Said yang terkenal dengan Al-Hufi, judulnya Al-Burhaan fii Uluumil Qura’an yang terdiri dari 30 jilid. Dari ke-30 jilid itu ada 15 jilid yang tidak tersusun dan tidak berurutan. Pengarang membicarakan ayat-ayat Al Quran menurut tertib mushaf. Dia membicarakan ilmu-ilmu Al Quran yang terkandung ayat itu secara sendiri, masing-masing diberi judul sendiri pula, dan judul yang umum disebutkan dalam ayat, dengan menuliskan alqaul fii qaulihi ‘Azza wa Jalla (pendapat mengenai firman Allah ), lalu disebutnya ayat itu. Kemudian di bawah judul ini dicantumkan alqaul fii al-Ii’rab (pendapat mengenai morfologi). Di bahagian ini ia membicarakan ayat dari sisi nahu dan bahasa. Selanjutnya al-qaul fil ma’na wat tafsiir (pendapat mengenai makna dan tafsirnya). Di sini ia jelaskan ayat itu berdasarkan riwayat (hadis) dan penalaran. Setelah itu al-qaul fil waqfi wal tamam (pendapat mengenai tanda berhenti dan tidak). Di sini ia menjelaskan tentang waqaf yang diperbolehkan dan tidak diperbolehkan. Terkadang qira’at diletakkan dalam judul tersendiri, yang disebutnya dengan al-qaul fil qira’at (pendapat mengenai qira’at). Kadang ia berbicara tentang hukum-hukum yang diambil dari ayat ketika ayat dibacakan.

Dengan method seperti ini, Al-Hufi dianggap sebagai orang pertama yang membukukan ulumul qur’an (ilmu-ilmu Al Quran), meskipun pembukuannya memakai cara tertentu seperti disebutkan tadi. Ia wafat pada tahun 330 Hijriah.

Kemudian, Ibnul Jauzi (wafat 597 H) mengikutinya dengan menulis sebuah kitab berjudul Fununul Afnan fi Ajaa’ibi Uluumil Qur’an. Lalu, tampil Badrudin az-Zarkasyi (wafat 794 H) menulis sebuah kitab dengan judul Al-Burhan fi Uluumil Qur’an Jalaaludin al-Baqini (wafat 824 H) memberikan tambahan atas Al-Burhan di dalam kitabnya Mawaaqi’ul Uluum min Maawaqi’in Nujum, Jalaludin as-Suyuti (wafat 911 H) juga kemudian menyusun kitab yang terkenal Al-Itqan fi Uluumil Qura’an.

Kepustakaan ilmu-ilmu Quran pada masa kebangkitan moden tidaklah lebih kecil daripada nasib ilmu-ilmu yang lain. Orang-orang yang menghubungkan diri dengan gerakan pemikiran Islam telah mengambil langkah yang positif dalam membahas kandungan Quran dengan method baru pula, seperti I’jaazul Qura’an yang ditulis oleh Mustafa Sadiq ar-Rafi’i, kitab At-Taswiirul Fanni fil Qur’an dan Masyaahidul Qiyamah fil Qur’an oleh Sayyid Qutb, Tarjamatul Qur’an oleh Syekh Mustafa al-Maraghi, yang salah satu pembahasannya ditulis oleh Muhibuddin al-Khatib, Mas’alatu Tarjaamatil Qur’an oleh Mustafa Sabri, An-Naba’ul Azim oleh Dr. Muhammad Abdullah Daraz, dan Mukadimah Tafsir Mahasinut Ta’wil oleh Jalaaludin al-Qasimi.

Syekh Tahir al-Jazairi menyusun sebuah kitab dengan judul At-Tibyaan fii Uluumil Qur’an. Syekh Muhammad Ali Salamah menulis pula Manhaajul Furqaan fii Uluumil Qur’an, yang berisi pembahasan yang sudah ditentukan untuk fakulti usuludin di Mesir dengan spesialisasi dakwah dan bimbingan masyarakat. Kemudian, hal itu juga diikuti oleh muridnya, Muhammad Abdul Azim az-Zarqani yang menyusun Manaahilul ‘Irfaan fi Uluumil Quran. Kemudian, Syekh Ahmad Ali menyusun Muzakkirat Uluumil Qur’an yang disampaikan kepada para mahasiswanya di fakulti usuludin jurusan dakwah dan bimbingan masyarakat. Akhirnya, muncul Mabaahits fii Uluumil Qur’an oleh Dr. Subhi as-Shaleh. Juga Ustaz Ahmad Muhammad Jamal menulis beberapa studi sekitar masalah ma’idah dalam Quran.

Pembahasan-pembahasan tersebut dikenal dengan sebutan uluumul quran, dan kata ini kini telah menjadi istilah atau nama khusus bagi ilmu-ilmu tersebut. Kata ulum jamak dari kata ilmu. Ilmu bererti al-fahmu wal idrak (faham dan menguasai). Kemudian, erti kata ini berubah menjadi masalah-masalah yang beraneka ragam yang disusun secara ilmiah.

Jadi, yang dimaksud dengan ulumul quran ialah ilmu yang membahas masalah-masalah yang berhubungan dengan Quran dari segi asbabunnuzul (sebab-sebab turunnya Quran), pengumpulan dan penertiban Quran, pengetahuan tentang surah-surah Mekah dan Madinah, an-nasikh wal-mansukh, al-muhkam wal-mutasyaabih, dan lain sebagainya yang berhubungan dengan Al Quran. Terkadang ilmu ini juga dinamakan usuulut tafsir (dasar-dasar tafsir), kerana yang dibahas berkaitan dengan beberapa masalah yang harus diketahui oleh seorang mufasir sebagai sandaran dalam menafsirkan Al Quran.

Dikirim pada oleh Hikmatun : http://hikmatun.wordpress.com


Sumber: Studi Ilmu-Ilmu Quran , terjemahan dari Mabaahits fii ‘Uluumil Quraan, Manna’ Khaliil al-Qattaan.

1 comment:

  1. buku apa yang boleh saya dapati untuk mengetahui potongan ayat alquran atau alhadith mengenai kepentingan bertarannum?? jika anda tahu, masukkan saja dalam komen... saya akan membacanya kemudian..

    segelintir mereka ada yang berkata, bahawa ilmu tarannum ini merupakan sesuatu yang bid'ah... sebab itulah saya mahu mengetahui dengan lebih lanjut mengenai bukti sahih galakan terhadap ilmu ini... tq.

    ReplyDelete

Komen


Sila ambil maklumat :) Dont Forget to Follow..

Subscibe Here